Selasa, 10 Oktober 2017

DAMPAK KEBUDAYAAN RENAISANCE TERHADAP PERKEMBANGAN ILMU PENGETAHUAN, TEKNOLOGI, DAN KESENIAN MODERN



DAMPAK KEBUDAYAAN RENAISANCE TERHADAP PERKEMBANGAN ILMU PENGETAHUAN, TEKNOLOGI, DAN KESENIAN MODERN

Renaisans merupakan era sejarah yang penuh dengan kemajuan dan perubahan yang mengandung arti bagi perkembangan ilmu. Zaman yang yang menyaksikan dilancarkannya tantangan gerakan reformasi terhadap keesaan dan supremasi gereja Katolik Roma, bersamaan dengan berkembangnya Humanisme.
            Zaman ini juga merupakan penyempurnaan kesenian, keahlian, dan ilmu yang diwujudkan dalam diri jenius serba bisa. Leonardo da Vinci. Penemuan percetakan (kira-kira 1440 M) dan ditemukannya benua baru (1492 M) oleh Columbus memberikan dorongan lebih keras untuk meraih kemajuan ilmu. Kelahiran kembali satra di Inggris, Perancis, dan Spanyol diwakili Shakespeare, Spencer, Rabelais, dan Ronsard. Pada masa itu, seni musik juga mengalami perkembangan. Adanya penemuan para ahli perbintangan seperti Copernicus dan Galileo menjadi dasar bagi munculnya astronomi modern yang merupakan titik balik dalam pemikiran ilmu dan filsafat.[1]
Tidaklah mudah untuk membuat garis batas yang tegas antara zaman renaisans dengan zaman modern. Sementara orang menganggap bahwa zaman modern hanyalah perluasan renaisans. Akan tetapi, pemikiran ilmiah membawa manusia lebih maju ke depan dengan kecepatan yang besar, berkat kemampuan-kemampuan yang dihasilkan oleh masa-masa sebelumnya. Manusia maju dengan langkah raksasa zaman uap ke zaman llistrik, kemudian ke zaman atom, elektron, radio, televisi, roket, dan zaman ruang angkasa.
Pada zaman renaisans ini manusia Barat mulai berpikir secara baru, dan secara berangsur-angsur melepaskan diri dari otoritas kekuasaan gereja yang selama ini membelenggu kebebasan dalam mengemukakan kebenaran filsafat dan ilmu. Pemikir yang dijelaskan disini antara lain Nicholas Copernicus (1473-1543) dan Francis Bacon (1561-1626).[2]
Copernicus adalah seorang tokoh gereja ortodoks, ia menemukan bahwa matahari berada dipusat jagad raya, dan bumi memiliki dua macam gerak, yaitu perputaran sehari-hari pada porosnya dan gerak tahunan mengelilingi matahari, Teorinya  ini  disebut  Heliosentrisme, dimana matahari adalah pusat jagad raya, bukan bumi sebagaimana yang dikemukakan oleh Ptolomeus yang diperkuat gereja. Teori Ptolomeus ini disebut Geosentrisme yang mempertahankan bumi sebagai pusat jagat raya.
Sekalipun Copernicus membuat model, namun alasan utamanya bukanlah sistemnya, melainkan keyakinannya bahwa prinsip Heliosentrisisme akan sangat memudahkan perhitungan. Copernicus sendiri tidak berniat untuk mengumumkan penemuannya, terutama mengingat keadaan dan lingkungan gereja saat itu. Menurut gereja, prinsip Geosentrisisme dianggap lebih benar daripada prinsip Heliosentrisisme. Tiap siang dan malam kita melihat semuanya mengelilingi bumi. Hal ini ditetapkan Tuhan, oleh agama, karena manusia menjadi pusat prhatian Tuhan, untuk manusialah semua itu diciptakan-Nya. Paham demikian disebut Homosentrisime. Dengan kata lain, prinsip Geosentrisisme tidak dapat dipisahkan dari prinsip Heliosentrisisme. Jika dalam keadaan demikian prinsip Heliosentrisisme dilontarkan, maka akan berakibat berubah dan rusaknya seluruh kehidupan manusia saat itu
Teori Copernicus ini melahirkan revolusi pemikiran tentang alam semesta, terutama astronomi. Bacon adalah pemikir yang seolah-olah meloncat keluar dari zamannya dengan melihat perintis filsafat ilmu. Ungkapan Bacon yang terkenal adalah Knowledge is power (Pengetahuan adalah Kekuasaan). Ada tiga contoh yang dapat membuktikan pernyataan ini, yaitu:
1.      Mesin menghasilkan kemenangan dan perang modern,
2.      Kompas memungkinkan manusia mengarungi lautan,
3.      Percetakan yang mempercepat penyebaran ilmu.
Penemuan Copernicus mempunyai pengaruh luas dalam kalangan sarjana, antara lain Tycho Brahe Johannes Keppler. Tycho Brahe (1546-1601) adalah seorang bangsawan yang tertarik pada sistem astronomi baru. ia membuat alat-alat yang ukurannya besar sekali untuk mengamati bintang-bintang dengan teliti. Berdasarkan alat-alat besar itu dan nengan ketekunan serta ketelitian pengamatannya, maka bahan yang dapat dikumpulkan selama 21 tahun  sangat besar artinya untuk ilmu dan kehidupan sehari-hari.
Perhatian Tycho Brahe dimulai pada bulan November tahun 1572, dengan munculnya bintang baru di gugusan Cassiopea secara tiba-tiba, yaitu bintang yang cemerlang selama 16 bulan sebelum ia padam lagi. Bintang yang dalam waktu singkat menjadi cemerlang dalam bahasa modern disebut Nova atau Supernova, tergantung dari besarnya dan massanya. Timbulnya bintang baru itu menggugurkan pendapat yang dianut sampai saat itu, yaitu oleh karena angkasa diciptakan Tuhan, maka angkasa tidak dapat berubah sepanjang masa, dan bentuknya akan tetap dan abadi. Beberapa tahun kemudian, Tycho berhasil menyusun sebuah observatorium yang lengkap dengan alat, kepustakaan, dan tenaga pembantu.
Johannes Keppler (1571-1630) adalah pembantu Tycho dan seorang ahli matematika. Setelah Tycho meninggal dunia, bahan pengamatan selama 21 tahun itu diwariskan kepada Keppler. Di samping melanjutkan pengamatan, Keppler juga tetap mengembangkan Astrologi untuk memperoleh uang guna memelihara perkembangan Astronomi. Dalam mengolah bahan peninggalan Tycho ia masih bertolak dari kepercayaan bahwa semua benda angkasa bergerak, mengikuti lintasan circle karena sesuai kesempurnaan ciptaan Tuhan. Semua perhitungan tetap menunjukkan bahwa lintasan merupakan sebuah elips untuk semua planet. Akhirnya, Keppler terpaksa mengakui bahwa lintasan memang berbentuk elips.[3]
Setelah Keppler, muncul Galileo (1546-1642) dengan penemuan lintas peluru, penemuan hukum pergerakan, dan penemuan tata bulan planet Jupiter. Penemuan tata bulan Jupiter memperkokoh keyakinan Galileo bahwa tata surya bumi bersifat heliosentrik. Sebagai sarjana matematika dan fisika, Galileo menerima prinsip tata surya yang heliosentris serta hukum-hukum yang ditemukan Keppler. Galileo dapat pula membuat sebuah teropong bintang. Dengan teropong itu ia dapat melihat beberapa peristiwa angkasa secara langsung. Yang terpenting dan terakhir ditemukannya adalah planet Jupiter yang dikelilingi oleh empat buah bulan.
Galileo membagi sifat benda dalam dua golongan. Pertama, golongan yang langsung mempunyai hubungan dengan metode pemeriksaan fisik, artinya yang mempunyai sifat-sifat primer (primary qualities) seperti berat, panjang, dan lain-lain sifat yang dapat diukur. Kedua, golongan yang tidak mempunyai peranan dalam proses pemeriksaan ilmiah, disebut sifat-sifat sekunder (secondary qualities), seperti sifat warna, asam, manis, dan tergantung dari panca indera manusia.
Pada masa yang bersamaan dengan Keppler dan Galileo ditemukan logaritma oleh Napier (1550-1617) berdasarkan basis E, yang kemudian diubah kedalam dasar 10 oleh Briggs (lahir tahun 1615) dan kemudian diperluas oleh Brochiel de Decker (lahir tahun 1626). Ketika Keppler mendengar tentang penemuan itu, ia memberikan reaksi bahwa jika ia dapat mempergunakan penemuan logaritma, perhitungan yang 11 tahun dapat dipersingkat sekurang-kurangnya menjadi satu bulan.
Pada masa Desarque (1593-1662) ditemukan Projective Geometry, yang berhubungan dengan cara melihat sesuatu yaitu manusia A melihat benda P dari tempat. Oleh karena “melihat” hanya mungkin jika ada cahaya, sedangkan cahaya memancar lurus, maka seolah-olah mata dihubungkan dengan benda oleh satu garis lurus lurus. Sedang Fermat, juga mengembangkan Ortogonal Coordinate System, seperti halnya Descrates.
Disamping itu, ia juga melaksanakan penelitian teori Al-Jabar berkenaan dengan bilangan-bilangan dan soal-soal yang dalam tangan Newton dan Leibniz kemuudian akan menjelma sebagai perhitungan diferensial-integral (calculus). Fermat bersama-sama Pascal menyusun dasar-dasar perhitungan statistik.


[1] Atang Abdul Hakim dan Beni Ahmad Saebani, Filsafat Umum, (Bandung: Pustaka Setia. 2008). Hal. 339
[2] Bernard Delfgaaw, Sejarah Ringkas Filsafat Barat, (Banten: Tiara Wacana Yogya. 1992). Hal. 104
[3] Sutarjo Adisusilo, Sejarah Pemikiran Barat dari yang Klasik sampai yang Modern, ( Yogyakarta: Sanata Dharma, 2007), Hal. 227

Tidak ada komentar:

Posting Komentar