MAKALAH
“FILSAFAT
KRITIS”
DI SUSUN OLEH
KELOMPOK IV
HALIZA PUTRI
MARYANTI
ORIN RUSTIN
YOGA WILLIAM
JURUSAN SEJARAH
FAKULTAS ILMU
SOSIAL
UNIVERSITAS
NEGERI PADANG
2016
KATA
PENGANTAR
Segala
puji hanya layak untuk ALLAH SWT tuhan seru sekalian alam atas segala berkat,
rahmat, taufik serta hidayahnya yang tiada terkira besarnya, sehingga penulis
dapat menyelesaikan makalah dengan judul “Filsafat Kritis”.
Makalah
ini merupakan salah satu tugas mata kuliah filsafat sejarah di program studi
pendidikan sejarah.
Kami
meyadari bahwa banyak terdapat kekurangan dalam penulisan makalah ini, maka
dari itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang konstruktif dari para
pembaca demi kesempurnaan makalah ini .
Padang,
Oktober 2016
Penulis
FILSAFAT
SEJARAH KRITIS
1. LATAR
BELAKANG FILSAFAT SEJARAH KRITIS
Ada
dua alur yang berbeda dalam membahas filsafat sejarah, yaitu alur filsafat
sejarah spekulatif dan alur filsafat kritis. Filsafat spekulatif merupakan
upaya untuk memandang proses sejarah secara menyeluruh, kemudian mencoba
menafsirkannya sedemikian rupa untuk memahami arti dan makna serta tujuan
sejarah. Sedangkan filsafat sejarah kritis tidak memandang pada proses sejarah
secara menyeluruh, tetapi memikirkan masalah-masalah pokok penyelidikan sejarah
itu sendiri, cara dan metode yang digunakan oleh sejarawan, dan sebagainya.[1]
Filsafat
sejarah kritis ini lahir setelah sejarah menjadi disiplin ilmiah sejak
pertengahan abad ke-19.[2] Filsafat
sejarah kritis lahir dari dua aliran yang saling bertentangan yaitu antara
positivisme dan idealisme dengan historisisme sebagai salah satu cabangnya.
Salah satu tokoh pendiri ialah Wilhem Dilthey. Pada 1883 ia mengumumkan
lahirnya filsafat sejarah kritis sebagai suatu cabang baru dan sekaligus
antitesis terhadap filsafat sejarah spekulatif yang konvensional.
1.
Mahzab Positivisme
Positivisme
berasal dari tradisi pemikiran empirisme abad Pencerahan (abad ke-18). Para
pendirinya terdiri dari sekelompok kecil filsuf Eropa, yang didukung oleh kaum
industris dan pembaru politik, mendirikan suatu “bentuk ilmu tunggal” the
heroic model of science sebagai fondasi baru untuk memperoleh kebenaran. Iklim
intelektual yang mendasari keyakinan ilmiah (paragdima) mereka adalah gagasan
tentang ‘kemajuan’ (progres) dan ‘kebebasan’ (freedom) berfikir, termasuk
kemerdekaan politik, dengan wahana ilmu pengetahuan alam. Kaum positivis
percaya bahwa ilmu positivistik (ilmu-ilmu alam atau ilmu fisika) merupakan
conditio sine quanon untuk mencapai kebenaran dengan demikian juga untuk
kemajuan umat manusia.
2. Mahzab
Historisisme
Historisme (bahasa jerman: historimus),
yang diajukan pertama kali oleh Friederich Schlegel tahun 1797 untuk mengacu
pada pergantian suatu aliran filsafat terkait dengan logika dan ada kalanya
mengenai seni dan politik. Pada abad ke-19 berkembang menjadi salah satu aliran
sejarah yang berkenaan dengan pendekatan metodologis di bidang sejarah.
Oleh Stern istilah historisme dirumuskan dengan formula berikut ini. Varitas et virtus filiae temporis
“kebenaran dan nilai”adalah dua bersaudara dalam waktu, yakni saudara sejarah”.
Melalui diktumnya itu historisisme sebenarnya hendak menegaskan kembali ide
Kant, bahwa peristiwa-peristiwa tidak hanya terjadi dalam sejarah, melainkan
juga berkembang melaui sejarah dan kezamanan. Tidak ada ide dan nilai serta
kebenaran yang terlepas dari konteks sejarah yang melahirkannya. Karena itu,
kebenaran dan nalar tidak mungkin ditemukan “diluar sejarah”.
Menurut Meyerhoff (1959:9) historisme
itu pada mulanya dalah aliran ‘sempalan’ dari kaum romantis-idealis jerman.
Mahzab ini lahir sebagai reaksi terhadap dominasi abstraksi-abstraksi logika
positivisme (rasionalisme abad pencerahan), yang dianggap merendahkan ilmu
sejarah dengan mengatakan bahwa “akal lebih unggul daripada sejarah sebagai
sumber pengetahuan”.
Empat arti istilah historisme dalam buku
Ankersmit yaitu sebagai berikut:
Pertama, istilah historisme ditafsirkan
sebagai anggapan bahwa seorang peneliti sejarah harus memahami masa silam,
dengan berpangkal pada masa silam sendiri, serta menghindarkan segala noda
anarkisme (Leopold von Ranke:1795-1886)
Kedua, dengan timbulnya tuntutan
hermeneutis agar seorang sejarawan menghayati atau masuk kedalam kulit seorang
pelaku sejarah. De facto, ini berarti, bahwa masa silam harus dipahami dari
dalam, dari masa silam sendiri. Dengan demikian, hermeneutika merincikan bentuk
historisme yang pertama.
Ketiga, istilah historisme sering
digunakan untuk menunjukkan sistem-sistem spekulatif tentang sejarah, seperti
dikembangkan oleh Hegel, Marx, Comte, dan Spengler. Bentuk historisme inilah
yang ditentang oleh Popper dalam bukunya yang terkenal, Gagalnya Historisme.
Dalam buku tersebut dipakai istilah “historisisme”, bukan “historisme”. Karena
bentuk historisme ala Hegel memang jauh menyimpang.
Keempat, arti yang paling didasari bagi
istilah historisme. Arti ini analog dengan pengertian-pengertian seperti
“sosiologisme” atau “scientisme”. Dengan demikian, yang dimaksud dengan
historisme ialah pendapat, bahwa pendekatan historis terhadap kenyataan,
membuka kemungkinan untuk melacak hakikat obyek-obyek didalam kenyataan itu.[3]
Tesis
utama dari filsafat aliran baru ini ialah; kebenaran sejarah hanya mungkin
dicapai dengan menunjukkan fakta-fakta sejarahnya secara empirik dan bukan
dengan renungan filosofis. Untuk itu maka sejarah harus diriset melalui
pembuktian dokumen atau sumber-sumber arsip sebagai data primer. Erat
kaitannya, upaya filsuf sejarah kritis dan sejarawan dalam memperkuat basis
keilmuan disiplin sejarah, lebih diarahkan pada masalah-masalah
teoritis-metodologis sejarah, khususnya berkenaan dengan apa yang disebut
sebagai ‘bidang garapan’ filsafat sejarah kritis, diantaranya yaitu :
1.
Masalah kedudukan ilmiah disiplin
sejarah dan hubungannya dengan disiplin ilmu lain
2.
Masalah fakta sejarah dan kebenaran
pernyataan sejarah
3.
Masalah objektifitas sejarah dan masalah
penjelasan sejarah (historical explanation)
4.
Masalah kegunaan dan manfaat kajian
sejarah sebagai disiplin ilmiah.
Filsafat
sejarah kritis, sejalan dengan semangat filsafat ilmu, juga menyisakan wacana
dan perdebatan panjang, khususnya mengenai keempat bidang yang disebutkan
diatas. Perdebatan itu bahkan masih berlangsung sampai sekarang, sejalan dengan
munculnya aliran-aliran baru dalam pemikiran sejarah. Filsafat searah kritis
atau filsafat sejarah analitik yang muncul pada akhir-akhir abad ke-19 mencapai
puncak pada abad ke-20.[4]
Hal-hal
yang dipertanyakan dalam filsafat sejarah kritis muncul dari renungan atas
pemikiran dan penalaran menurut ilmu sejarah, terutama bersifat epistemologis
dan konseptual. Pada umumnya pembahasan filsafat sejarah kritis kerkisar pada
dua pokok soal yang penting, yaitu mengenai logisitas eksplanasi yang
diketengahkan oleh sejarawan professional dan status epistemologis narasi
sejarah masa silam.[5]
2. PERKEMBANGAN
FILSAFAT SEJARAH KRITIS
Hal-hal
yang dipertanyakan dalam filsafat sejarah kritis muncul dari renungan atas
pemikiran dan penalaran menurut ilmu sejarah, terutama bersifat epistemologis
dan konseptual.[6]
Tokoh-tokoh filsafat sejarah kritis ialah Wilhelm Dilthey (1833-1911),
Benedetto Croce (1866-1952), dan Robin George Collingwood (1889-1943). Seorang
filsuf sejarah kritis meneliti sarana-sarana yang digunakan oleh ahli sejarah
dalam melukiskan masa silam dengan cara yang dapat dipertanggungjawabkan.
Hubungan antara filsafat sejarah kritis dengan pengkajian sejarah sama seperti
antara filsafat ilmu dengan ilmu. Keduanya meneliti secara filsafati bagaimana
proses pengumpulan pengetahuan terjadi dan bagaimana proses itu dapat
dibenarkan.[7]
Filsafat
sejarah kritis mengandung arti studi mengenai jalannya peristiwa sejarah, atau
studi terhadap asumsi dan metode para sejarawan.[8]
Garis perkembangan filsafat sejarah kritis dapat disederhanakan menjadi tiga
fase, diantaranya yaitu:
a.
Pergantian abad ke 19/20. Isu sentralnya
berkaitan dengan penguatan fondasi sejarah sebagai disiplin ilmiah. Penegasan
pendirian ini muncul dalam pidato J.B. Bury (1861-1927), berjudul The Science
of History (1903). Sebagai sejarawan positivis, Bury memuji upaya filsuf dan
sejarawan the german school (yang anti positivis), tapi juga membenarkan
generalisasi dalam sejarah. Ia juga menolak sejarah sebagai karya sastra dan
ajaran moral.
b.
Periode klasik, berlangsung antara tahun
1930-an dan tahun 1940-an atau sebelum PD II. Isu sentralnya pada fase ini
berkisar pada masalah obyektivitas sejarah.
c.
Fase ketiga, berkisar antara tahun
1950-an sampai tahun 1970-an, isu pokoknya bergeser ke masalah penjelasan
sejarah (Historical Explanation).
Filsafat
sejarah kritis mengalami perkembangan pesat dan makin mengukuhkan kesadaran
identitasnya sebagai wahana pengembangan sejarah ilmiah, sejalan dengan klaim
filsafat ilmu pada umumnya. Filsafat sejarah kritis menggantikan filsafat
sejarah spekulatif dalam mempelajari sejarah dengan menawarkan pengetahuan baru
tentang sejarah ilmiah.
3. KONTRIBUSI
FILSAFAT KRITIS TERHADAP PERKEMBANGAN FILSAFAT SEJARAH
Kontribusi
filsafat sejarah kritis terhadap filsafat sejarah yaitu filsafat sejarah dapat
meneliti sarana-sarana yang digunakan seorang ahli sejarah dalam memaparkan
atau menggambarkan masa silam dengan cara yang dapat dipertanggung jawabkan,
sehingga akhirnya dalam menyusun sejarah
sudah mempunyai bukti-bukti yang mendukung dan memperkuat dalam memaparkan masa
silam.[9]
Filsafat
sejarah kritis memberikan jawaban kepada sejumlah pertanyaan tentang sejarah,
pertama, terkait dengan apakah sejarah sebagai ilmu. Hal ini muncul karena
adanya aliran positivisme yang mengatakan bahwa peristiwa sejarah tidak dapat
dijelaskan dengan merujuk pada hukum-hukum alam, Sejarah memiliki paradigma
sendiri dan tidak mengaitkan diri dengan ilmu kealaman. Kedua dan ketiga,
sejarah membutuhkan rekonstruksi historis tentang sebuah peristiwa masa lampau
yang dibangun diatas fakta sejarah, dasarnya adalah opini atau fakta sejarah
yang memerlukan objektivitas dalam analisa sejarah, padahal menurut positivisme
sejarah tidak pernah bersifat mutlak melainkan relative.
Dengan
kita bersikap kritis terhadap suatu peritiwa sejarah maka kita akan lebih
terpacu untuk menganalisis data – data tentang peristiwa sejarah. Peristiwa
sejarah bukan hanya diambil dari garis besar kejadian sejarah,melainkan harus
dianalisa dan dikritisasi kebenarannya. Keuntungan lain dengan kita lebih dapat
lebih belajar mengenai pandangan – pandangan lain dan membandingkannya. Karena
kunci dari Filsafat Sejarah Krtitis ialah perbandingan sumber yang ada.
KESIMPULAN
Filsafat
sejarah kritis ini lahir setelah sejarah menjadi disiplin ilmiah sejak
pertengahan abad ke-19. Tesis utama dari filsafat aliran baru ini ialah;
kebenaran sejarah hanya mungkin dicapai dengan menunjukkan fakta-fakta
sejarahnya secara empirik dan bukan dengan renungan filosofis. Hal-hal yang
dipertanyakan dalam filsafat sejarah kritis muncul dari renungan atas pemikiran
dan penalaran menurut ilmu sejarah, terutama bersifat epistemologis dan
konseptual
Garis
perkembangan filsafat sejarah kritis dapat disederhanakan menjadi tiga fase,
yaitu akhir abad ke 19 sejarah sebagai disiplin ilmiah, fase 1930-an dan
1940-an dikenal dengan periode klasik, dan fase 1950-an sampai 1970-an mengenai
penjelasan sejarah. Filsafat sejarah kritis mengalami perkembangan pesat dan
makin mengukuhkan kesadaran identitasnya sebagai wahana pengembangan sejarah
ilmiah.
Kontribusi
filsafat sejarah kritis terhadap filsafat sejarah yaitu filsafat sejarah dapat
meneliti sarana-sarana yang digunakan seorang ahli sejarah dalam memaparkan
atau menggambarkan masa silam dengan cara yang dapat dipertanggung jawabkan. Filsafat
sejarah kritis memberikan jawaban kepada sejumlah pertanyaan tentang sejarah,
pertama, terkait dengan apakah sejarah sebagai ilmu. Dengan
kita bersikap kritis terhadap suatu peritiwa sejarah maka kita akan lebih
terpacu untuk menganalisis data – data tentang peristiwa sejarah
DAFTAR PUSTAKA
Aam Abdillah. 2012,
Pengantar Ilmu Sejarah, Bandung : Pustaka Setia,
F.R Ankersmit. 1987.
Refleksi Tentang Sejarah “Pendapat-Pendapat Modern tentang Filsafat Sejarah”.
Jakarta: Gramedia
Jan Hendrik Rapar.
2010. Pengantar Filsafat. Yogyakarta :
Kanisius
Mestika Zed. 2010.
Pengantar Filsafat sejarah. Padang: UNP Press
Moeflih Hasbullah, Dedi
Supriyadi. 2012. Filsafat Sejarah. Bandung:Pustaka Setia
Yulia siska. 2015.
Manusia dan Sejarah : sebuah tinjauan filosofis. Yogyakarta : Garudawhaca
[1]
Jan Hendrik Rapar, Pengantar Filsafat, (Yogyakarta : Kanisius, 2010), Hlm 85
[2] F.R
Ankersmit. 1987. Refleksi Tentang Sejarah “Pendapat-Pendapat Modern tentang
Filsafat Sejarah”. Jakarta: Gramedia. hlm 11
[3]F.R
Ankersmit. 1987. Refleksi Tentang Sejarah “Pendapat-Pendapat Modern tentang
Filsafat Sejarah”. Jakarta: Gramedia. Hlm, 211
[4] Mestika
Zed. 2010. Pengantar Filsafat sejarah. Padang: UNP Press.hlm 87-89
[5]
Jan Hendrik Rapar, Pengantar Filsafat, 2010 Yogyakarta, Kanisius Hlm 85
[6]
Aam Abdillah, Pengantar Ilmu Sejarah, (Bandung : Pustaka Setia, 2012), hlm
127-128
[7]
F.R. Ankersmit, Refleksi Tentang Sejarah, (Jakarta : Gramedia,1987), hlm 4
[8]
Yulia siska, Manusia dan Sejarah (sebuah tinjauan filosofis), (Yogyakarta :
Garudawhaca,2015) hlm 10
[9]
Moeflih Hasbullah, Dedi Supriyadi, Filsafat Sejarah, (Bandung:Pustaka Setia,
2012), hal 44
Tidak ada komentar:
Posting Komentar