Selasa, 10 Oktober 2017

Filsafat Sejarah Kritis



MAKALAH
“FILSAFAT KRITIS”


Description: logo vektor universitas negeri padang


DI SUSUN OLEH
KELOMPOK IV
HALIZA PUTRI
MARYANTI
ORIN RUSTIN
YOGA WILLIAM



JURUSAN SEJARAH
FAKULTAS ILMU SOSIAL
UNIVERSITAS NEGERI PADANG
2016
KATA PENGANTAR

Segala puji hanya layak untuk ALLAH SWT tuhan seru sekalian alam atas segala berkat, rahmat, taufik serta hidayahnya yang tiada terkira besarnya, sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah dengan judul “Filsafat Kritis”.
Makalah ini merupakan salah satu tugas mata kuliah filsafat sejarah di program studi pendidikan sejarah.
Kami meyadari bahwa banyak terdapat kekurangan dalam penulisan makalah ini, maka dari itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang konstruktif dari para pembaca demi kesempurnaan makalah ini .





Padang, Oktober 2016

Penulis





FILSAFAT SEJARAH KRITIS
1.      LATAR BELAKANG FILSAFAT SEJARAH KRITIS
Ada dua alur yang berbeda dalam membahas filsafat sejarah, yaitu alur filsafat sejarah spekulatif dan alur filsafat kritis. Filsafat spekulatif merupakan upaya untuk memandang proses sejarah secara menyeluruh, kemudian mencoba menafsirkannya sedemikian rupa untuk memahami arti dan makna serta tujuan sejarah. Sedangkan filsafat sejarah kritis tidak memandang pada proses sejarah secara menyeluruh, tetapi memikirkan masalah-masalah pokok penyelidikan sejarah itu sendiri, cara dan metode yang digunakan oleh sejarawan, dan sebagainya.[1]
Filsafat sejarah kritis ini lahir setelah sejarah menjadi disiplin ilmiah sejak pertengahan abad ke-19.[2] Filsafat sejarah kritis lahir dari dua aliran yang saling bertentangan yaitu antara positivisme dan idealisme dengan historisisme sebagai salah satu cabangnya. Salah satu tokoh pendiri ialah Wilhem Dilthey. Pada 1883 ia mengumumkan lahirnya filsafat sejarah kritis sebagai suatu cabang baru dan sekaligus antitesis terhadap filsafat sejarah spekulatif yang konvensional.
1.      Mahzab Positivisme
Positivisme berasal dari tradisi pemikiran empirisme abad Pencerahan (abad ke-18). Para pendirinya terdiri dari sekelompok kecil filsuf Eropa, yang didukung oleh kaum industris dan pembaru politik, mendirikan suatu “bentuk ilmu tunggal” the heroic model of science sebagai fondasi baru untuk memperoleh kebenaran. Iklim intelektual yang mendasari keyakinan ilmiah (paragdima) mereka adalah gagasan tentang ‘kemajuan’ (progres) dan ‘kebebasan’ (freedom) berfikir, termasuk kemerdekaan politik, dengan wahana ilmu pengetahuan alam. Kaum positivis percaya bahwa ilmu positivistik (ilmu-ilmu alam atau ilmu fisika) merupakan conditio sine quanon untuk mencapai kebenaran dengan demikian juga untuk kemajuan umat manusia.
2.      Mahzab Historisisme
Historisme (bahasa jerman: historimus), yang diajukan pertama kali oleh Friederich Schlegel tahun 1797 untuk mengacu pada pergantian suatu aliran filsafat terkait dengan logika dan ada kalanya mengenai seni dan politik. Pada abad ke-19 berkembang menjadi salah satu aliran sejarah yang berkenaan dengan pendekatan metodologis di bidang sejarah.
Oleh Stern istilah historisme dirumuskan dengan formula berikut ini. Varitas et virtus filiae temporis “kebenaran dan nilai”adalah dua bersaudara dalam waktu, yakni saudara sejarah”. Melalui diktumnya itu historisisme sebenarnya hendak menegaskan kembali ide Kant, bahwa peristiwa-peristiwa tidak hanya terjadi dalam sejarah, melainkan juga berkembang melaui sejarah dan kezamanan. Tidak ada ide dan nilai serta kebenaran yang terlepas dari konteks sejarah yang melahirkannya. Karena itu, kebenaran dan nalar tidak mungkin ditemukan “diluar sejarah”.
Menurut Meyerhoff (1959:9) historisme itu pada mulanya dalah aliran ‘sempalan’ dari kaum romantis-idealis jerman. Mahzab ini lahir sebagai reaksi terhadap dominasi abstraksi-abstraksi logika positivisme (rasionalisme abad pencerahan), yang dianggap merendahkan ilmu sejarah dengan mengatakan bahwa “akal lebih unggul daripada sejarah sebagai sumber pengetahuan”.
Empat arti istilah historisme dalam buku Ankersmit yaitu sebagai berikut:
Pertama, istilah historisme ditafsirkan sebagai anggapan bahwa seorang peneliti sejarah harus memahami masa silam, dengan berpangkal pada masa silam sendiri, serta menghindarkan segala noda anarkisme (Leopold von Ranke:1795-1886)
Kedua, dengan timbulnya tuntutan hermeneutis agar seorang sejarawan menghayati atau masuk kedalam kulit seorang pelaku sejarah. De facto, ini berarti, bahwa masa silam harus dipahami dari dalam, dari masa silam sendiri. Dengan demikian, hermeneutika merincikan bentuk historisme yang pertama.
Ketiga, istilah historisme sering digunakan untuk menunjukkan sistem-sistem spekulatif tentang sejarah, seperti dikembangkan oleh Hegel, Marx, Comte, dan Spengler. Bentuk historisme inilah yang ditentang oleh Popper dalam bukunya yang terkenal, Gagalnya Historisme. Dalam buku tersebut dipakai istilah “historisisme”, bukan “historisme”. Karena bentuk historisme ala Hegel memang jauh menyimpang.
Keempat, arti yang paling didasari bagi istilah historisme. Arti ini analog dengan pengertian-pengertian seperti “sosiologisme” atau “scientisme”. Dengan demikian, yang dimaksud dengan historisme ialah pendapat, bahwa pendekatan historis terhadap kenyataan, membuka kemungkinan untuk melacak hakikat obyek-obyek didalam kenyataan itu.[3]
Tesis utama dari filsafat aliran baru ini ialah; kebenaran sejarah hanya mungkin dicapai dengan menunjukkan fakta-fakta sejarahnya secara empirik dan bukan dengan renungan filosofis. Untuk itu maka sejarah harus diriset melalui pembuktian dokumen atau sumber-sumber arsip sebagai data primer. Erat kaitannya, upaya filsuf sejarah kritis dan sejarawan dalam memperkuat basis keilmuan disiplin sejarah, lebih diarahkan pada masalah-masalah teoritis-metodologis sejarah, khususnya berkenaan dengan apa yang disebut sebagai ‘bidang garapan’ filsafat sejarah kritis, diantaranya yaitu :
1.        Masalah kedudukan ilmiah disiplin sejarah dan hubungannya dengan disiplin ilmu lain
2.        Masalah fakta sejarah dan kebenaran pernyataan sejarah
3.        Masalah objektifitas sejarah dan masalah penjelasan sejarah (historical explanation)
4.        Masalah kegunaan dan manfaat kajian sejarah sebagai disiplin ilmiah.
Filsafat sejarah kritis, sejalan dengan semangat filsafat ilmu, juga menyisakan wacana dan perdebatan panjang, khususnya mengenai keempat bidang yang disebutkan diatas. Perdebatan itu bahkan masih berlangsung sampai sekarang, sejalan dengan munculnya aliran-aliran baru dalam pemikiran sejarah. Filsafat searah kritis atau filsafat sejarah analitik yang muncul pada akhir-akhir abad ke-19 mencapai puncak pada abad ke-20.[4]
Hal-hal yang dipertanyakan dalam filsafat sejarah kritis muncul dari renungan atas pemikiran dan penalaran menurut ilmu sejarah, terutama bersifat epistemologis dan konseptual. Pada umumnya pembahasan filsafat sejarah kritis kerkisar pada dua pokok soal yang penting, yaitu mengenai logisitas eksplanasi yang diketengahkan oleh sejarawan professional dan status epistemologis narasi sejarah masa silam.[5]
2.      PERKEMBANGAN FILSAFAT SEJARAH KRITIS
Hal-hal yang dipertanyakan dalam filsafat sejarah kritis muncul dari renungan atas pemikiran dan penalaran menurut ilmu sejarah, terutama bersifat epistemologis dan konseptual.[6] Tokoh-tokoh filsafat sejarah kritis ialah Wilhelm Dilthey (1833-1911), Benedetto Croce (1866-1952), dan Robin George Collingwood (1889-1943). Seorang filsuf sejarah kritis meneliti sarana-sarana yang digunakan oleh ahli sejarah dalam melukiskan masa silam dengan cara yang dapat dipertanggungjawabkan. Hubungan antara filsafat sejarah kritis dengan pengkajian sejarah sama seperti antara filsafat ilmu dengan ilmu. Keduanya meneliti secara filsafati bagaimana proses pengumpulan pengetahuan terjadi dan bagaimana proses itu dapat dibenarkan.[7]
Filsafat sejarah kritis mengandung arti studi mengenai jalannya peristiwa sejarah, atau studi terhadap asumsi dan metode para sejarawan.[8] Garis perkembangan filsafat sejarah kritis dapat disederhanakan menjadi tiga fase, diantaranya yaitu:
a.    Pergantian abad ke 19/20. Isu sentralnya berkaitan dengan penguatan fondasi sejarah sebagai disiplin ilmiah. Penegasan pendirian ini muncul dalam pidato J.B. Bury (1861-1927), berjudul The Science of History (1903). Sebagai sejarawan positivis, Bury memuji upaya filsuf dan sejarawan the german school (yang anti positivis), tapi juga membenarkan generalisasi dalam sejarah. Ia juga menolak sejarah sebagai karya sastra dan ajaran moral.
b.    Periode klasik, berlangsung antara tahun 1930-an dan tahun 1940-an atau sebelum PD II. Isu sentralnya pada fase ini berkisar pada masalah obyektivitas sejarah.
c.    Fase ketiga, berkisar antara tahun 1950-an sampai tahun 1970-an, isu pokoknya bergeser ke masalah penjelasan sejarah (Historical Explanation).
Filsafat sejarah kritis mengalami perkembangan pesat dan makin mengukuhkan kesadaran identitasnya sebagai wahana pengembangan sejarah ilmiah, sejalan dengan klaim filsafat ilmu pada umumnya. Filsafat sejarah kritis menggantikan filsafat sejarah spekulatif dalam mempelajari sejarah dengan menawarkan pengetahuan baru tentang sejarah ilmiah.
3.      KONTRIBUSI FILSAFAT KRITIS TERHADAP PERKEMBANGAN FILSAFAT SEJARAH
Kontribusi filsafat sejarah kritis terhadap filsafat sejarah yaitu filsafat sejarah dapat meneliti sarana-sarana yang digunakan seorang ahli sejarah dalam memaparkan atau menggambarkan masa silam dengan cara yang dapat dipertanggung jawabkan, sehingga akhirnya  dalam menyusun sejarah sudah mempunyai bukti-bukti yang mendukung dan memperkuat dalam memaparkan masa silam.[9]
Filsafat sejarah kritis memberikan jawaban kepada sejumlah pertanyaan tentang sejarah, pertama, terkait dengan apakah sejarah sebagai ilmu. Hal ini muncul karena adanya aliran positivisme yang mengatakan bahwa peristiwa sejarah tidak dapat dijelaskan dengan merujuk pada hukum-hukum alam, Sejarah memiliki paradigma sendiri dan tidak mengaitkan diri dengan ilmu kealaman. Kedua dan ketiga, sejarah membutuhkan rekonstruksi historis tentang sebuah peristiwa masa lampau yang dibangun diatas fakta sejarah, dasarnya adalah opini atau fakta sejarah yang memerlukan objektivitas dalam analisa sejarah, padahal menurut positivisme sejarah tidak pernah bersifat mutlak melainkan relative.
Dengan kita bersikap kritis terhadap suatu peritiwa sejarah maka kita akan lebih terpacu untuk menganalisis data – data tentang peristiwa sejarah. Peristiwa sejarah bukan hanya diambil dari garis besar kejadian sejarah,melainkan harus dianalisa dan dikritisasi kebenarannya. Keuntungan lain dengan kita lebih dapat lebih belajar mengenai pandangan – pandangan lain dan membandingkannya. Karena kunci dari Filsafat Sejarah Krtitis ialah perbandingan sumber yang ada.














KESIMPULAN
Filsafat sejarah kritis ini lahir setelah sejarah menjadi disiplin ilmiah sejak pertengahan abad ke-19. Tesis utama dari filsafat aliran baru ini ialah; kebenaran sejarah hanya mungkin dicapai dengan menunjukkan fakta-fakta sejarahnya secara empirik dan bukan dengan renungan filosofis. Hal-hal yang dipertanyakan dalam filsafat sejarah kritis muncul dari renungan atas pemikiran dan penalaran menurut ilmu sejarah, terutama bersifat epistemologis dan konseptual
Garis perkembangan filsafat sejarah kritis dapat disederhanakan menjadi tiga fase, yaitu akhir abad ke 19 sejarah sebagai disiplin ilmiah, fase 1930-an dan 1940-an dikenal dengan periode klasik, dan fase 1950-an sampai 1970-an mengenai penjelasan sejarah. Filsafat sejarah kritis mengalami perkembangan pesat dan makin mengukuhkan kesadaran identitasnya sebagai wahana pengembangan sejarah ilmiah.
Kontribusi filsafat sejarah kritis terhadap filsafat sejarah yaitu filsafat sejarah dapat meneliti sarana-sarana yang digunakan seorang ahli sejarah dalam memaparkan atau menggambarkan masa silam dengan cara yang dapat dipertanggung jawabkan. Filsafat sejarah kritis memberikan jawaban kepada sejumlah pertanyaan tentang sejarah, pertama, terkait dengan apakah sejarah sebagai ilmu. Dengan kita bersikap kritis terhadap suatu peritiwa sejarah maka kita akan lebih terpacu untuk menganalisis data – data tentang peristiwa sejarah








DAFTAR PUSTAKA
Aam Abdillah. 2012, Pengantar Ilmu Sejarah, Bandung : Pustaka Setia,
F.R Ankersmit. 1987. Refleksi Tentang Sejarah “Pendapat-Pendapat Modern tentang Filsafat Sejarah”. Jakarta: Gramedia
Jan Hendrik Rapar. 2010. Pengantar Filsafat. Yogyakarta :  Kanisius
Mestika Zed. 2010. Pengantar Filsafat sejarah. Padang: UNP Press
Moeflih Hasbullah, Dedi Supriyadi. 2012. Filsafat Sejarah. Bandung:Pustaka Setia
Yulia siska. 2015. Manusia dan Sejarah : sebuah tinjauan filosofis. Yogyakarta : Garudawhaca


[1] Jan Hendrik Rapar, Pengantar Filsafat, (Yogyakarta : Kanisius, 2010), Hlm 85
[2] F.R Ankersmit. 1987. Refleksi Tentang Sejarah “Pendapat-Pendapat Modern tentang Filsafat Sejarah”. Jakarta: Gramedia. hlm 11
[3]F.R Ankersmit. 1987. Refleksi Tentang Sejarah “Pendapat-Pendapat Modern tentang Filsafat Sejarah”. Jakarta: Gramedia. Hlm, 211
[4] Mestika Zed. 2010. Pengantar Filsafat sejarah. Padang: UNP Press.hlm 87-89
[5] Jan Hendrik Rapar, Pengantar Filsafat, 2010 Yogyakarta, Kanisius Hlm 85
[6] Aam Abdillah, Pengantar Ilmu Sejarah, (Bandung : Pustaka Setia, 2012), hlm 127-128
[7] F.R. Ankersmit, Refleksi Tentang Sejarah, (Jakarta : Gramedia,1987), hlm 4
[8] Yulia siska, Manusia dan Sejarah (sebuah tinjauan filosofis), (Yogyakarta : Garudawhaca,2015) hlm 10
[9] Moeflih Hasbullah, Dedi Supriyadi, Filsafat Sejarah, (Bandung:Pustaka Setia, 2012), hal 44

Tidak ada komentar:

Posting Komentar